Senin, 08 Februari 2010

DUA PULUH EMPAT PUNTUNG YANG MENANCAP DI PASIR

Hari beranjak senja. Hujan turun sejak pagi, menyisakan mendung dan gerimis yang turun perlahan. Langit yang lelah sesekali bergemuruh. Angin laut berdesir kencang, berlari mengejar ombak, menerbangkan daun daun yang menyampah di sepanjang pantai. Tak ada kapal yang bersandar atau nelayan yang mencari ikan. Tak ada siapapun di sini selain dirinya dan Dewi, wanita yang mengisi separuh hatinya setahun belakangan ini. Sepi benar-benar menjadi raja di tempat ini. Kehidupan hanya terlihat dari tupai kecil yang berlompatan di sela pohon kelapa dan kepak burung camar yang tanpa arah. Selebihnya hanya sepi. Seperti juga Dewi yang diam seribu bahasa sejak mereka meninggalkan cottage siang tadi.

Adi turun dari mobil. Matanya menatap jauh pada garis di tengah laut. Dibiarkannya Dewi sendiri di dalam, di bangku belakang. Ingin rasanya ia memaksa Dewi turun dan bicara. Tapi untuk apa? Hampir sepanjang malam mereka bicara. Dia hanya mencoba membuat Dewi mengerti. Tapi Dewi bergeming. Tuntutan demi tuntutan mengalir dari bibir sang kekasih. Tak tersisa kemesraan yang selama ini mengisi kebersamaan mereka. Emosinya memuncak ketika Dewi terus menekannya pagi tadi. Amarahnya membuat Dewi terdiam. Tak ada lagi suara yang keluar dari bibirnya yang mungil. Bahkan tak satu katapun yang terucap ketika dia mencium dan menyelimuti tubuhnya yang dingin. Perlahan ia duduk dan bersandar di pintu mobil. Bekas lumpur mengotori punggungnya. Sebatang rokok di tangan dengan cepat dinyalakan, berpacu dengan angin yang bertiup kencang.

Ini bukan kali pertama mereka di sini, di pantai yang sepi. Rimbun pepohonan dan semak memberi ruang bagi mereka yang sedang dimabuk asmara. Entah setan apa yang ada dikepala mereka saat itu? Jeep mewah warna hijau yang setia menemani mereka keluar kota menjadi saksi seberapa liar hasrat mereka. Dihisapnya dalam, kretek yang terselip di tangan. Masih jelas dalam ingatan, setelah lelah berpeluh, Dewi bersandar di bahunya. Mereka bicara tentang banyak hal. Tentang laut, tentang pantai, bahkan tentang puisi puisi bening yang terpampang dalam blog pribadinya.
“Aku suka puisi.” Dewi mencoba meyakinkan.
“Aku lebih suka puisi bening. Puisi sepi. Puisi yang tidak meledak ledak seperti orang yang sedang berorasi.” Seakan ia hendak menegaskan pribadinya yang tertutup dan manja. Serpihan kenangan mengiris dalam ingatan. Ada sejuta sesal yang bergayut dalam hati.

Setahun sudah mereka bersama. Suaranya yang merdu, sopan dan terdengar manja mampu memaksanya menjadi nasabah perusahaan asuransi tempat Dewi bekerja.
“Aku ambil asuransinya, tapi kamu harus ikut makan siang denganku sekarang.” Begitulah mereka memulai kebersamaan ini. Hari demi hari berlalu begitu cepat. Ia tak ingat lagi sudah berapa kali mereka bersama. Semua berjalan begitu cepat. Tak ada komitmen yang keluar dari mulut mereka. Tak ada tuntutan yang mereka ajukan. Sungguh relasi yang terlalu maju untuk ukuran kota mereka. Kota yang kecil. Kota yang penuh dengan spanduk tentang norma norma.

Adi melihat ke bawah. Tak terasa sudah hampir setengah bungkus rokok yang dia hisap sore ini. Lima puntung rokok tersusun dengan rapi tertancap di atas pasir. Seperti ada kepuasan tersendiri setiap kali dia menancapkan puntung rokok ke pasir. Ada rasa gelisah yang ingin dibunuhnya sejak dua bulan lalu. Rasa yang hadir sejak Dewi mengeluh terlambat datang bulan.
“Aku positif mas….” Dewi mengadu dengan suara bimbang.
“Tapi aku tidak setuju dengan rencana mas untuk menggugurkan kandunganku. Aku takut dosa.” Suara Dewi terdengar memelas.
Ia terdiam. Ia sangat mengerti apa yang Dewi mau saat itu, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan selama ini. Baru kali ini selama mereka bersama Dewi bicara dosa. Malam yang penuh keringat dan sesekali bercampur dengan aroma alkohol tak mampu membuatnya berpikir tentang dosa. Lalu mengapa sekarang Dewi bicara tentang dosa. Ia tak habis berpikir. Terbayang wajah keluarga besarnya. Wajah ibu, wajah paman, serta wajah Ranti yang lugu, anak paman yang menjadi pilihan ibu selama ini. Mengapa baru sekarang Dewi bicara tentang dosa. Mengapa tidak dari pertama bertemu mereka bicara tentang dosa. Pertanyaan mengapa dan mengapa terus menghantui dirinya sejak saat itu.

Sekali lagi Adi menancapkan puntung rokok ke pasir setelah ia selesai menyundut sebatang lagi dengan puntung yang menyala. Ia pernah mencoba menjelaskan pada Dewi siapa keluarganya dan bagaimana mereka menghadapi situasi seperti ini. Tapi Dewi tak peduli. Dia tak mengerti bahwa selama ini, ia dan keluarga hidup dari belas kasih paman. Bahkan kekayaan yang dia nikmati saat ini tak lepas dari posisi pamannya sebagai ketua DPRD dan ketua partai di daerah. Sebagai kontraktor rekanan pemerintah, semua pekerjaan yang dia terima saat ini tak lepas dari nama besar pamannya. Andai Dewi tahu bagaimana ayahnya menghilang sejak paman tahu bahwa ayah sering menyiksa ibu. Andai Dewi tahu bahwa mereka adalah raja raja kecil di daerah yang mampu melakukan apa saja tanpa ada hukum yang mampu menjangkaunya. Andai Dewi tahu bahwa Ranti yang baik dan lugu serta ibu yang darah tinggi tak akan mampu menerima kenyataan ini.

“Aku gak peduli”. Teriak Dewi
“Aku sudah banyak melakukan dosa. Aku ingin mengakhirinya sekarang. Aku minta anak ini punya ayah yang sah. Setelah itu kau boleh ceraikan aku. Aku tidak akan menuntut apa apa lagi dari mas. Bahkan biaya untuk anak ini sepenuhnya menjadi urusanku.” Dewi terus menuntut. Dia bukan lagi Dewi yang ia kenal. Setiap kalimat yang keluar, selalu atas nama bayi yang dikandungnya. Anak yang baru dua bulan dalam kandungan memberi aura keibuan yang kuat dalam dirinya. Adi merasa cemburu. Rasa yang tak pernah mereka pikirkan selama ini. Seperti tak ada lagi cinta yang tersisa pada dirinya. Dewi benar-benar telah jatuh hati pada bayi yang dikandungnya. Mungkin juga dewi tak pernah mencintainya. Mereka belum pernah bicara tentang cinta dengan bahasa yang seharusnya.

“Mas penakut… Mas banci… Mas bukan laki laki..!” menjadi kata yang paling akrab di telinga saat ini. Setiap pertemuan selalu berakhir dengan pertengkaran. Ada banyak kata yang tak seharusnya mereka ucapkan. Di cottage, tempat mereka menginap malam tadi, Dewi terus menekannya dengan ancaman yang tak pernah ia bayangkan selama ini.
“Aku beri mas waktu satu minggu. Jika mas tak berani bersikap, jangan sakahkan aku kalau aku terpaksa membawa masalah ini ke pengadilan. Aku akan tuntut mas secara perdata.” Dewi terlihat meradang.
Kemana perginya Dewi yang manja? Kemana semua rasa yang selalu ada saat mereka bersama? Lelah rasanya bertanya kenapa dan mengapa Dewi berubah. Semua pertanyaan itu mengumpul dalam dada. Seakan tak ada ruang yang tersisa untuk ia bernafas.

Tak terasa hari semakin malam. Dikoncangnya bungkus rokok yang terkapar. Tak ada suara yang keluar, artinya tak ada lagi yang bisa menemaninya berpikir malam ini. Dengan berat ia berdiri dan masuk ke dalam mobil. Di luar terasa sepi. Ia ingat Dewi yang sendiri di dalam. Butuh sedikit waktu untuk menghilangkan lelah. Matanya terpejam. Masih panjang jalan yang harus mereka lalui. Sepanjang harapan yang tak mampu menyatukan mereka.

Matahari bersinar cerah. Orang orang berkumpul di pinggir pantai. Pantai yang sepi. Pantai yang dianggap keramat oleh penduduk sekitar. Mereka berkumpul menyaksikan polisi mengevakuasi dua mayat dari dalam mobil jeep mewah warna hijau. Mayat pertama adalah laki-laki. Tubuhnya terbaring membusuk di kursi depan. Ada cairan yang mengering di sekitar mulut dan bajunya. Sementara mayat kedua berjenis kelamin perempuan. Setidaknya begitulah yang dikatakan petugas ketika melapor melalui radio panggil. Kondisinya jauh lebih mengenaskan. Tubuhnya ditemukan dalam koper di bangku belakang, terpotong rapi dalam bungkusan sprei dengan logo penginapan tak jauh dari lokasi kejadian. Tak ada yang tahu, sejak kapan mereka di sini, di pantai yang sepi dan keramat ini.

Polisi sibuk menghalau masa menjauhi TKP, memasang pita kuning di sekitar tempat kejadian. Orang orang menjauh. Mereka saling berbisik membicarakan dua puluh empat batang rokok yang tertancap di pasir di pinggir mobil. Seperti lilin dalam upacara yang sakral. Entah apa maksudnya?

Jakarta, 6 Februari 2010
Sedkit jejak untuk anak anak FDAP (Forum Diskusi Anak Petani)
Special thx to Arul buat koreksinya

Senin, 28 Desember 2009

HAMPA

daun daun yang runtuh
entah di mana terjatuh
yang terbaring berserakan
hilang warna

mimpi mimpi yang jauh
entah di mana berlabuh
yang sendiri terjaga
tak berdaya

Senin, 21 Desember 2009

SURAT TERAKHIR

selembar surat
dan gerimis yang turun perlahan
menikamku sepi dan sungkan
melunturkan segala keyakinan

angin tak lagi bawa kisah
tak juga menderu
rindu dan kenangan
terhapus ragu ragu

ah, andai saja masih berarti
akan kutulis lagi sajak cinta
yang mungkin membuatmu mengerti

:tapi benarkah ku ingin kau kembali?



GERIMIS SENJA

dengan gerimis senja ini
seakan datang chairil padaku
dan menyapa:
“mana yang lebih menakutkan
badai atau gerimis yang turun perlahan?”



KEBODOHAN ADALAH CINTA

kebodohan adalah cinta
yang menjelma berhala
saat dia hadir sebagai dewi dalam hidupmu
menuntut persembahan sejuta rasa
di atas altar yang dingin dan kaku
ketika semuanya berakhir
kau dapati dirimu di sudut altar
yang paling dingin dan pilu,
bersimpuh dan berdo’a
: ”dewi jangan pernah kembali,
tak ada lagi rasa untukmu hari ini.”
(Tanpa air mata)



RINDU

mawar rindu
tak lagi berbunga
tinggal duri duri
menusuk hati
luka perih

rindu
tak lagi
indah

Rabu, 09 Desember 2009




STATE OF BLAPAH

Hari-hari terakhir ini tak henti-hentinya kita menyaksikan drama tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh dengan lakon-lakon yang menyedihkan. Hukum yang diputarbalikkan, politik yang tak bermoral yang berlindung di balik tembok demokrasi, bahkan tarian kemiskinan yang seakan kita nikmati dari sudut pandang yang paling sakral sekalipun yaitu agama.

Dari atas mimbarnya yang tampak gagah, para penguasa berbicara tentang hal-hal yang normatif, yang bertahun-tahun lamanya hanya memberikan jawaban tanpa solusi yang kita inginkan. Wacana demi wacana yang terlontar dari para pakar, praktisi, hingga tokoh agama, juga tak mampu mengubah kondisi yang ada. Kita semakin terpuruk dalam ketidakberdayaan dari carut marutnya hukum, politik, ekonomi, sosial bahkan budaya.

Sistem yang kita punya lahir dari suatu pesta demokrasi yang menurut masyarakat internasional cukup jujur dan adil. Orang orang yang berkuasa pun bukan orang sembarangan, yaitu mereka yang telah malang melintang di bidangnya. Lalu apa yang salah dengan negeri ini?

Berdasarkan kajian lepas dalam suatu forum yang tidak jelas yang rutin membahas pemikiran pemikiran SOCRATES, ARISTOTELES, PLATO, IMANUEL KANT, WEBBER, SHANG YANG, KARL MAX, SIGMUND FREUD, dan masih banyak lagi yang tentunya tidak mungkin untuk kita sebutkan satu persatu, ternyata apa yang terjadi di negeri ini hanya karena kesalahan dalam penamaan. Kita sudah sangat terbiasa menyebut orang orang yang berada dalam sistem negara sebagai APARAT. Akibat dari penamaan yang salah kaprah ini adalah setiap orang yang punya potensi yang ditunjuk untuk mengepalai suatu unit atau bagian dari sistem yang paling kecil sampai yang paling besar harus disumpah sebagai KEPALA APARAT terlebih dahulu yang apabila disingkat menjadi KEPARAT. Beginilah jadinya kalau setiap orang yang memimpin kita harus disumpah terlebih dahulu sebagai KEPARAT.

Andai saja operator seluler yang menawarkan program pemilihan nama (REG_ NAMA) telah ada sejak zaman kemerdekaan, tentu tidak akan ada suasana carut marut seperti yang kita alami sekarang ini. Setuju? He he he